Per Ardua Ad Astra

  • This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

Tuesday, January 31, 2017

BERBAGI KURSI RODA

Pengurus dan Relawan Suara Hati foto bersama Keluarga Gosis.

Berbagi merupakan proses yang sederhana dan sulit dilakukan bagi orang yang tidak terbiasa berbagi. Dengan berbagi, kita dapat meringankan beban orang lain yang membutuhkan. Berbagi apa yang kita miliki kepada orang lain tidak selalu berkaitan dengan harta benda, tetapi juga ilmu pengetahuan dan pengalaman. Seperti halnya komunitas Suara Hati yang selalu berbagi, salah satu program barunya yaitu berbagi kursi roda. Kursi roda ditujukan bagi orang yang mengalami keterbatasan fisik dalam berpindah tempat, sehingga mereka membutuhkan alat bantu mobilitas berupa kursi roda. Pada tahun ini, program tersebut merupakan program kursi roda yang pertama.
Pada kesempatan ini, tepatnya Minggu, 29 Januari 2017, Suara Hati berbagi kursi roda ke salah satu siswa SLB Puspa Melati, Gosis Riyanto. Siswa yang akrab disapa Gosis mengalami keterbatasan fisik sejak kecil. Acaranya berlangsung dengan lancar yaitu sambutan dari keluarga, perkenalan Suara Hati, dan sarasehan. Selanjutnya sekitar 8 pengurus dan relawan Suara Hati mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya yaitu untuk memberikan bantuan kursi roda. Dan ditutup dengan serah terima bantuan dari Suara Hati kepada keluarga Gosis.
Pada awalnya, orang tua tidak mengetahui hal tersebut, tetapi seiring perkembangan dan pertumbuhannya Gosis, orang tua menyadari bahwa anaknya mengalami keterlambatan dalam perkembangan fungsi motorik. Sebelumnya, Gosis pernah mendapatkan pendidikan dan terapi di Yakkum yang beralamat di jalan Kaliurang. Dan sekarang Gosis tinggal bersama orangtuanya di Dusun Trosari I RT 03 RW 03 Kecamatan Tepus. Orang tua Gosis yang berprofesi petani dan pembuat kerajinan tangan tersebut mempunyai empat anak. Gosis merupakan anak yang paling muda atau bungsu. Gosis tidak hanya menerima kursi roda baru dari Suara Hati, tetapi juga mendapatkan modal untuk usaha dalam bentuk deposit pulsa. Modal tersebut diharapkan dapat melatih Gosis dalam keterampilan wirausaha dan mengelola uang sehingga nantinya dapat berkelanjutan dan menjadi salah satu sumber penghasilan bagi Gosis.

Monday, January 30, 2017

Pendakian Merapi via Selo


Sabtu dan Minggu, 28 dan 29 Januari 2017, bertepatan hari libur imlek yang jatuh pada tanggal 28 Januari 2017, saya dan teman-teman (Antok, Zikril, dan Pico) merencanakan untuk melakukan pendakian yang tentunya belum pernah kami daki sebelumnya, prioritasnya yaitu Gunung Merapi. Ada beberapa pertimbangan dalam memilih Gunung Merapi, yaitu ketinggian yang sedang, jalur pendakian tidak terlalu ekstrem, dan cuaca yang kurang mendukung di musim hujan juga salah satu bagian dari kewaspadaan tersendiri.
Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api yang masih aktif di Indonesia. Letusan terakhir pada tahun 2010 yang mereduksi ketinggian puncaknya. Gunung yang memiliki titik puncak tertinggi 2.930 mdpl tersebut mempunyai dua jalur trekking yang terdiri dari jalur Selo (Boyolali, Jawa Tengah) dan jalur Kinaharjo (Kaliurang, Yogyakarta). Untuk pendakian ini, kami memilih jalur pendakian Selo (Boyolali) karena jalur pendakiannya aman dan jarak tempuhnya hanya sekitar 4-5 jam dari basecamp menuju Puncak Merapi. Jalur pendakian Selo melewati 5 titik sebelum sampai ke Puncak Merapi yaitu basecamp Selo, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Pos I, Pos II, dan Pasar Bubrah, yang totalnya berjarak sekitar 3,4 Km. Estimasi waktu dari basecamp Selo ke TNGM yaitu sekitar 60 menit, TNGM menuju ke Pos I yaitu 45 menit, Pos I menuju Pos II yaitu 60 menit, Pos II menuju Pasar Bubrah yaitu 45 menit, dan Pasar Bubrah menuju Puncak Merapi yaitu 60 menit.


Pendakian diawali dari Terminal Jombor menuju basecamp Selo (Boyolali) dengan menggunakan sepeda motor. Waktu yang dibutuhkan yaitu sekitar 2 jam 30 menit, berangkat pukul 09.30 WIB dan sampai pukul 12.00 WIB. Sesampainya di basecamp, kami melakukan registrasi pendakian dengan total biaya Rp. 18.500 per orang. Setelah itu, kami istirahat dan packing sampai pukul 13.00 WIB. Sekitar pukul 13.15 WIB, kami mulai berangkat dari basecamp Selo. Waktu perjalanan dari basecamp menuju TNGM yaitu sekitar pukul 14.30 WIB dengan perjalanan santai, kemudian lanjut menuju ke Pos I sampai pukul 15.30 WIB. Karena cuaca hujan, kami menyempatkan istirahat di Pos I dengan ditemani hewan endemik Gunung Merapi, yaitu monyet. Selain itu, kami juga menyempatkan untuk berbincang-bincang dengan pendaki lain. Beberapa pendaki sudah ada yang mendirikan tenda di Pos I karena cuaca yang kurang mendukung yaitu badai angin, kabut, dan hujan. Setelah berbagi kopi panas di tengah dinginnya gunung merapi, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos II dan sesampainya pukul 16.30 WIB. Rencana awal kami yaitu mendirikan tenda di Pos II, namun karena di Pos II sudah penuh dengan tenda para pendaki lain, kami pun melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat lapang yang pas untuk mendirikan tenda. Akhirnya kami mendirikan tenda di antara Pos II dan Pasar Bubrah. Pasar Bubrah merupakan tanah lapang yang mampu menampung tenda dengan kapasitas banyak, namun di musim penghujan, kondisi di Pasar Bubrah tidak disarankan untuk mendirikan tenda karena badai angina, kabut, dan disertai hujan sering terjadi di sekitar Pasar Bubrah. Hal tersebut beresiko terhadap keselamatan para pendaki.


Pendirian tenda di antara Pos II dan Pasar Bubrah menjadi salah satu pilihan yang tepat. Beberapa batu besar dan pohon yang lebat di sekitarnya dapat mengurangi atau memecah arah angin. Kondisi saat itu, dari pukul 18.00 WIB (28 Januari 2017) sampai jam 08.00 WIB (29 Januari 2017), yaitu hujan lebat yang disertai angina, kabut, dan gemuruh petir. Beberapa cover tenda pendaki lain lepas dari tenda utamanya. Hal tersebut memang tidak bisa dihindarkan karena cuaca di musim hujan sangat ekstrem. Sampai pukul 08.00 WIB, kami pun memutuskan untuk lanjut ke Pasar Bubrah, dan sesampainya di Pasar Bubrah pukul 08.30 WIB. Pasar Bubrah menjadi titik terjauh pendakian di musim hujan. Para pendaki dilarang melewati Pasar Bubrah karena cuaca yang tidak memungkinkan untuk menuju ke Puncak Merapi. Hal tersebut dilakukan sebagai antisipasi dan usaha meminimalkan korban yang tidak diinginkan. Kondisi di Pasar Bubrah pun berkabut yang disertai angina dan gerimis, sehingga Puncak Merapi yang seharusnya dapat terlihat dari Pasar Bubrah tidak terlihat sama sekali. Setelah itu, kami pun memutuskan untuk balik ke tenda dan persiapan turun. Kami mulai turun pukul 10.00 WIB dan sampai di basecamp pukul 13.00 WIB. Kami langsung lapor ke basecamp dan persiapan pulang ke Jogja pukul 14.30 WIB lewat jalur boyolali, dan sampai di Jogja pukul 17.00 WIB dengan suasana perjalanan yang romantis disertai hujan lebat.





Friday, January 20, 2017

Pantai Watu Lumbung, Tepus, Gunungkidul


 Berbicara tentang pantai, Gunungkidul tidak kalah dengan potensi pariwisatanya di sepanjang pesisir selatan. Ibarat toko, gunungkidul merupakan toko yang pas buat destinasi pantai di provinsi D.I. Yogyakarta. Berbagai pilihan pantai bisa diakses dengan mudah menggunakan motor dan mobil, tetapi juga ada beberapa yang suit diakses. Banyak pantai-pantai yang mudah diakses, terkenal, dan sering dikunjungi pelancong lokal dan asing antara lain Pantai Indrayanti, Pantai Sadranan, Pantai Krakal, Pantai Siung, dan Pantai Wediombo. Namun juga ada sedikit pantai yang belum banyak dikunjungi dan tentunya masih bersih dari tangan jahat manusia, salah satunya yaitu Pantai Watu Lumbung. Pantai Watu Lumbung yang terletak di Kawasan Gunung Batur, Dusun Widoro, Desa Balong, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul, merupakan salah satu pantai di sepanjang pesisir selatan yang baru dikembangkan menjadi destinasi wisata. Pemandangan yang unik berupa batuan yang terpisah dari bibir pantai menjadi ikon tersendiri bagi Pantai Watu Lumbung. Namun, akses yang ditawarkan menuju ke Pantai Watu Lumbung belum banyak diketahui oleh wisatawan. Hal tersebut karena posisinya yang tidak mudah, melewati dusun-dusun dengan akses jalan setapak yang hanya bisa dilewati satu mobil, dan saat mendekati ke Pantai Watu Lumbung aksesnya berupa jalan berbatu cadas yang memaksa pengguna mobil atau motor harus lebih berhati-hati. Oleh karena itu, meskipun terbilang masih baru untuk destinasi wisata pantai di Gunungkidul, Pantai Watu Lumbung menawarkan pesona unik tersendiri yang masih alami dan pastinya dengan sedikit usaha lebih untuk mengaksesnya. Untuk mendapatkan kepuasan pesona Pantai Watu Lumbung memang tidak mudah, banyak tantangan akses jalan, waktu, dan energy yang harus dipersiapkan. Pengalaman perdana saya dalam menuju ke tempat tersebut pada hari Rabu, 18 Januari 2017. Dari Kota Yogyakarta, saya mengambil arah ke Pantai Wediombo, dan memasuki Kecamatan Girisubo ada papan petunjuk ke arah Pantai Watu Lumbung. Jalan yang harus dilalui yaitu berupa jalan setapak cor semen dan jalan berbatu cadas yang permukaannya menanjak dan menurun. Arah jalannya sedikit membingungkan karena berada di tengah daerah pedesaan, namun jangan khawatir karena papan petunjuk tidak akan menyesatkan dan banyak warga desa yang bercocok tanam di sekitar jalan. Di tengah jalan, pos retribusi siap menghadang para wisatawan yang akan menarik biaya retribusi sebesar Rp. 5.000 per orang. Setelah itu, jalan menuju Pantai Watu Lumbung akan menjadi jalanan berbatu cadas yang memaksa pengguna motor harus menurunkan penumpangnya agar bebannya berkurang, sedangkan pengguna mobil harus melaju dengan pelan dan hati-hati. Estimasi perjalanan saya dari Kota Yogyakarta menuju Pantai Watu Lumbung yaitu sekitar 2 jam 30 menit dengan perjalanan sepeda motor yang melaju santai, sekitar 50 sampai 60 km/jam.  


 Sesampainya di Pantai Watu Lumbung akan disambut tukang parkir yang akan menarik biaya parkir sebesar Rp. 2.000 per motor dan juga disambut oleh mimbar yang bertuliskan Pantai Watu Lumbung. Mimbar tersebut berada di ujung tebing sehingga wisatawan dapat melihat secara luas bagian pantai dan sekelilingnya. Setelah puas melihat pemandangan di atas mimbar, saya menuju ke pesisir pantai Watu Lumbung dengan berjalan menurun melewati semak-semak, akan ada beberapa jalur yang bercabang menuju tepian yang berbeda. Saya pun mencoba jalur yang tengah yang menuju ke bibir pantai dekat ikon Watu Lumbung yang menjulang tinggi. Di sekitar bibir pantai tidak ada pasir putih, hanya batuan-batuan hitam kecoklatan. Di sekitar ikon tersebut juga digenangi air sehingga saya tidak bisa menyebrangnya. Saat musim penghujan pada bulan Januari, air pasang mempengaruhi volume air sehingga karang-karang di sekitar ikon Watu Lumbung yang biasanya untuk menyebrang tergenangi air dibarengi ombak yang sedikit ganas. Kemudian saya berbalik arah menuju ke jalur sebelah kiri yang mengantar kami ke tebing dengan pemandangan menuju ikon Watu Lumbung dan sekitar bibir pantainya. Tanpa mengulur waktu, saya langsung mengabadikan momen-momen unik yang jarang dan sulit untuk mengaksesnya.


Kawasan Pantai Watu Lumbung masih alami dan belum banyak dikunjungi oleh wisatawan. Hal tersebut terlihat dari kebersihan pantai dari tangan jahat manusia berupa sampah-sampah, kendaraan yang parkir juga tidak lebih dari lima motor dan tidak ada mobil yang parkir, dan fasilitas umum masih dalam proses pembangunan. Semoga dengan dijadikannya destinasi wisata baru di kawasan Gunungkidul, keindahan alam Pantai Watu Lumbung tetap bisa terjaga dari tangan-tangan jahat manusia yang beresiko merusak keindahan dan ekosistem di sekitar pantai.