Per Ardua Ad Astra

Thursday, November 3, 2016

DISKUSI ASPIRASI: TRANSPORTASI

Para peserta sedang berdiskusi
Mobilitas berpengaruh dengan tingkat kesejahteraan hidup manusia, semakin tinggi tingkat mobilitas semakin mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, semakin terhambat semakin rendah tingkat kesejahteraannya. Namun, realita yang terjadi pada penyandang disabilitas yang mempunyai keterbatasan tertentu dalam mobilitas dan komunikasi adalah kondisi lingkungan di sekitarnya tidak akses bagi mereka. Yang mereka butuhkan adalah positif diskriminasi, yaitu penyediaan akses khusus yang membantu mereka dalam hambatan dan mobilitas.
Dengan mengusung perihal tersebut, Komite Disabilitas DIY mengadakan diskusi aspirasi dengan tema transportasi. Transportasi berkaitan dengan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas yang secara hukum mempunyai hak yang sama. Diskusi aspirasi tersebut berlangsung pada tanggal 23 Oktober 2016 mulai pukul 10.00 sampai 13.00 WIB bertempat di Kantor Komite Disabilitas DIY yang beralamat di Gang Lurik Jalan Kingkin No.1 RT 08 Nitipuran Ngestiharjo, Jalan Wates KM 2,5 Yogyakarta. Peserta merupakan perwakilan dari komunitas yang bergerak di bidang disabilitas di daerah Yogyakarta, yaitu Difa Ojeg, SAPDA, Yakkum, Sigab, Ciqal, DMC, WKCP, DTLS, DAC, Karinakas, PPDI, HWDI, ITMI, Pertuni, dan Gerkatin.
Masukan dari penyandang tunarungu terkait dengan transportasi yaitu terkait dengan sarana dan prasarana yaitu perlu adanya visual aids berupa tanda atau rambu tertentu seperti tanda toilet untuk laki-laki dan perempuan, tanda arah ke tempat mushola, dan tanda area parkir. Visual aids berupa tanda akan lebih mudah diakses daripada tulisan. Hal tersebut karena mayoritas penyandang tunarungu tidak bisa membaca tulisan. Selain itu, hambatan dalam berkomunikasi juga menjadi salah satu hal perlu diperhatikan bahwa sebagian besar tunarungu mengalami kesulitan dalam bertanya dengan menggunakan bahasa insyarat atau bahasa oral pada masyarakat umum.
Salah satu syarat untuk mengendarai kendaraan adalah harus mempunyai SIM. Bagi penyandang tunarungu, untuk mendapatkan SIM merupakan hal yang cukup sulit didapat. Hal tersebut dikarenakan salah satu syaratnya adalah ujian tulis. Ujian tulis melibatkan kemampuan akademik baca, tulis, dan hitung (calistung), tetapi sebagian besar penyandang tunarungu tidak mampu calistung. Oleh karena itu, masukan dari penyandang tunarungu kepada pemerintah adalah sebaiknya ujian tulis SIM bagi mereka bisa diganti dengan ujian praktek atau ujian visual.
Melakukan mobilitas merupakan suatu aktivitas yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupannya secara mandiri, terutama bagi penyandang tunanetra yang hanya bisa mengandalkan jasa transportasi. Untuk mengakses jasa transportasi tidaklah mudah bagi mereka. Oleh karena itu, beberapa masukan dari penyandang disabilitas terkait hal tersebut dan sarananya, yaitu dengan tergantinya kendaraan umum dengan bus trans daerah, jumlah kendaraan umum semakin sedikit. Padahal, kendaraan umum dapat terakses di tempat manapun, sedangkan bus trans daerah hanya bisa diakses dengan menuju halte terdekat yang jarang ditemukan di daerah pinggiran. Selain itu, jarak tempuh yang dibutuhkan juga lebih lama karena sebagian besar bus trans daerah tidak langsung ke tempat tujuan melainkan menuju tempat-tempat lain. Kesadaran pengemudi dan kondektur bus trans daerah tersebut juga perlu diperhatikan karena ada beberapa kejadian yang berbahaya bagi pendanyang tunanetra. Kejadian tersebut yaitu ketika bus akan transit ke halte, pintu bus tidak dekat dengan halte, sehingga penyandang tunanetra jatuh terperosok ke bawah. Terlepas dari transportasi umum, penyandang tunanetra bisa menggunakan jasa transportasi pribadi seperti ojeg dan taksi, namun biaya yang dikeluarkan oleh penyandang tunanetra tidak sedikit.
Terkait penyandang tunanetra, lampu lalu lintas perlu dimodifikasi dengan pengeras suara agar penyebrang tunanetra dapat mengetahui waktu yang dibutuhkan dalam menyebrang. Hal tersebut perlu dlakukan karena hanya dengan mengacungkan tongkat melawat saja kurang efektif. Hal ini juga tidak lepas dari banyaknya pengendara motor yang ugal-ugalan. Terkait hal tersebut, teman penulis yang mengalami tunanetra juga mempunyai cerita terkait kisah pribadinya. Di area kampus, teman tersebut menyebrang dengan mengacungkan tongkat melawat tetapi ada saja mobil yang tetap menerjang dan menabraknya, alhasil sedikit luka lecet karena tabrakan tidak bisa dihindari.

 Pelayanan transportasi memang penting, khususnya bagi penyandang disabilitas yang notabene memerlukan perlakuan khusus. Perlakuan khusus tersebut bukan semata-mata mendeskriminasikan secara negatif bagi mereka, melainkan mendeskriminasikan secara positif agar hak untuk mendapatkan pelayanan umum setara dengan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, masukan terkait pelayanan umum adalah perlunya tata cara pelayanan tersebut diatur dengan melibatkan penyandang disabilitas sehingga pegawai atau penyedia jasa dapat melayani penyandang disabilitas dan perlu adanya wawasan mengenai penyandang disabilitas sebagai syarat dalam membuat SIM agar pelayanan bisa lebih baik. Hal tersebut juga perlu didukung oleh pemerintah dengan mengadakan sosialisasi dan pelatihan bagi pegawai atau penyedia jasa transportasi umum.

0 comments:

Post a Comment