 |
Para peserta sedang berdiskusi |
Mobilitas berpengaruh
dengan tingkat kesejahteraan hidup manusia, semakin tinggi tingkat mobilitas
semakin mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, semakin terhambat
semakin rendah tingkat kesejahteraannya. Namun, realita yang terjadi pada
penyandang disabilitas yang mempunyai keterbatasan tertentu dalam mobilitas dan
komunikasi adalah kondisi lingkungan di sekitarnya tidak akses bagi mereka.
Yang mereka butuhkan adalah positif diskriminasi, yaitu penyediaan akses khusus
yang membantu mereka dalam hambatan dan mobilitas.
Dengan mengusung perihal tersebut,
Komite Disabilitas DIY mengadakan diskusi aspirasi dengan tema transportasi.
Transportasi berkaitan dengan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas yang
secara hukum mempunyai hak yang sama. Diskusi aspirasi tersebut berlangsung pada
tanggal 23 Oktober 2016 mulai pukul 10.00 sampai 13.00 WIB bertempat di Kantor
Komite Disabilitas DIY yang beralamat di Gang Lurik Jalan Kingkin No.1 RT 08
Nitipuran Ngestiharjo, Jalan Wates KM 2,5 Yogyakarta. Peserta merupakan
perwakilan dari komunitas yang bergerak di bidang disabilitas di daerah
Yogyakarta, yaitu Difa Ojeg, SAPDA, Yakkum, Sigab, Ciqal, DMC, WKCP, DTLS, DAC,
Karinakas, PPDI, HWDI, ITMI, Pertuni, dan Gerkatin.
Masukan dari penyandang
tunarungu terkait dengan transportasi yaitu terkait dengan sarana dan prasarana
yaitu perlu adanya visual aids berupa
tanda atau rambu tertentu seperti tanda toilet untuk laki-laki dan perempuan,
tanda arah ke tempat mushola, dan tanda area parkir. Visual aids berupa tanda akan lebih mudah diakses daripada tulisan.
Hal tersebut karena mayoritas penyandang tunarungu tidak bisa membaca tulisan.
Selain itu, hambatan dalam berkomunikasi juga menjadi salah satu hal perlu
diperhatikan bahwa sebagian besar tunarungu mengalami kesulitan dalam bertanya
dengan menggunakan bahasa insyarat atau bahasa oral pada masyarakat umum.
Salah satu syarat untuk
mengendarai kendaraan adalah harus mempunyai SIM. Bagi penyandang tunarungu,
untuk mendapatkan SIM merupakan hal yang cukup sulit didapat. Hal tersebut
dikarenakan salah satu syaratnya adalah ujian tulis. Ujian tulis melibatkan
kemampuan akademik baca, tulis, dan hitung (calistung), tetapi sebagian besar penyandang
tunarungu tidak mampu calistung. Oleh karena itu, masukan dari penyandang
tunarungu kepada pemerintah adalah sebaiknya ujian tulis SIM bagi mereka bisa
diganti dengan ujian praktek atau ujian visual.
Melakukan mobilitas
merupakan suatu aktivitas yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupannya secara
mandiri, terutama bagi penyandang tunanetra yang hanya bisa mengandalkan jasa transportasi.
Untuk mengakses jasa transportasi tidaklah mudah bagi mereka. Oleh karena itu,
beberapa masukan dari penyandang disabilitas terkait hal tersebut dan
sarananya, yaitu dengan tergantinya kendaraan umum dengan bus trans daerah,
jumlah kendaraan umum semakin sedikit. Padahal, kendaraan umum dapat terakses
di tempat manapun, sedangkan bus trans daerah hanya bisa diakses dengan menuju
halte terdekat yang jarang ditemukan di daerah pinggiran. Selain itu, jarak
tempuh yang dibutuhkan juga lebih lama karena sebagian besar bus trans daerah
tidak langsung ke tempat tujuan melainkan menuju tempat-tempat lain. Kesadaran
pengemudi dan kondektur bus trans daerah tersebut juga perlu diperhatikan karena
ada beberapa kejadian yang berbahaya bagi pendanyang tunanetra. Kejadian
tersebut yaitu ketika bus akan transit ke halte, pintu bus tidak dekat dengan
halte, sehingga penyandang tunanetra jatuh terperosok ke bawah. Terlepas dari
transportasi umum, penyandang tunanetra bisa menggunakan jasa transportasi
pribadi seperti ojeg dan taksi, namun biaya yang dikeluarkan oleh penyandang
tunanetra tidak sedikit.
Terkait penyandang
tunanetra, lampu lalu lintas perlu dimodifikasi dengan pengeras suara agar
penyebrang tunanetra dapat mengetahui waktu yang dibutuhkan dalam menyebrang. Hal
tersebut perlu dlakukan karena hanya dengan mengacungkan tongkat melawat saja
kurang efektif. Hal ini juga tidak lepas dari banyaknya pengendara motor yang
ugal-ugalan. Terkait hal tersebut, teman penulis yang mengalami tunanetra juga
mempunyai cerita terkait kisah pribadinya. Di area kampus, teman tersebut
menyebrang dengan mengacungkan tongkat melawat tetapi ada saja mobil yang tetap
menerjang dan menabraknya, alhasil sedikit luka lecet karena tabrakan tidak
bisa dihindari.
Pelayanan transportasi memang penting,
khususnya bagi penyandang disabilitas yang notabene memerlukan perlakuan
khusus. Perlakuan khusus tersebut bukan semata-mata mendeskriminasikan secara negatif
bagi mereka, melainkan mendeskriminasikan secara positif agar hak untuk
mendapatkan pelayanan umum setara dengan masyarakat pada umumnya. Oleh karena
itu, masukan terkait pelayanan umum adalah perlunya tata cara pelayanan
tersebut diatur dengan melibatkan penyandang disabilitas sehingga pegawai atau penyedia
jasa dapat melayani penyandang disabilitas dan perlu adanya wawasan mengenai
penyandang disabilitas sebagai syarat dalam membuat SIM agar pelayanan bisa
lebih baik. Hal tersebut juga perlu didukung oleh pemerintah dengan mengadakan
sosialisasi dan pelatihan bagi pegawai atau penyedia jasa transportasi umum.