Perhatian
masyarakat umum terhadap dunia pendidikan luar biasa yang ditujukan bagi anak
berkebutuhan khusus relatif masih baru. Menurut Mohammad Amin dan Andress
Dwidjosumarto (1979) dalam Muljono Abdurrachman dan Sudjadi (1994:248), perhatian
dalam pendidikan tersebut terbagi menjadi tiga fase perkembangan pendidikan
ABK, yaitu fase pengabaian, fase pemberian perlindungan, dan fase pemberian
pendidikan. Adapun penjabaran dari ketiga fase tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Fase
Pengabaian
Pada zaman
Sparta, anak yang mengalami kelainan dibunuh dan dieksploitasi untuk
pertunjukan. Sisa-sisa eksploitasi tersebut masih berlangsung hingga saat ini,
terutama pada anak yang mengalami bentuk fisik lebih kecil dari anak seusianya
(kretin atau kerdil).
2. Fase
Pemberian Perlindungan
Di Cina,
perlindungan bagi anak yang menyandang ketunaan telah dilakukan sejak zaman
Confusius yang menganjurkan anak yang mengalami ketunaan tetap disebut sebagai
anak dan tidak dibedakan dari anak seusianya.
3. Fase
Pemberian Pendidikan
Pada tahun
1500-an, pendidikan untuk ABK baru dimulai di beberapa negara. Pada decade
pertama abad 19, para pemimpin Amerika Serikat seperti Horace Mann, Samuel
Gridley Howe, dan Dorothea Dix menggerakkan sekolah berasrama bagi anak
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, epilesi, dan yatim piatu. Sekolah tersebut
memberikan berbagai pelatihan dan juga memberikan perlindungan lingkungan
sepanjang hidup. Pada awal tahun 1871, Samuel Gridley Howe meramalkan bahwa
masa depan pendidikan ABK dapat terintegrasi dengan anak seusianya di sekolah
biasa.
Sumber:
Muljono Abdurrachman dan Sudjadi.
(1994). Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Depdikbud.
0 comments:
Post a Comment