Per Ardua Ad Astra

  • This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

Wednesday, August 31, 2016

Puncak Gunung Slamet (3.428 mdpl)


Untuk Indonesia, berkibarlah sang merah putih.
Halo pembaca, kali ini gue mau share pengalaman gue ke puncak Gunung Slamet, perjalananya lumayan panjang guys, mulai dari nyari temen barengan, rencana perjalanan yang menantang, dan pendakian bersama kawan baru. Pendaki yang awam seperti gue emang selalu kesepian buat nyari temen, harus aktif tanya kesana-kemari. Selain itu, ditambah perjalanan ke kota orang, juga lebih menantang di saat gue baru kali pertama ke basecamp Bambangan, Purbalingga. Mulai dari nyari bis, terlantar, dan dapat host yang baik hati, semuanya ngga bisa dilupain begitu saja. Terlepas dari itu, pendakian kali emang cukup familiar yaitu pendakian massal merah putih, dimana para pesertanya nanti akan mengibarkan bendera Indonesia di puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah, yaitu 3.428 mdpl. Dengan peserta hampir 60 orang dari pendakian massal tersebut, tentunya pendakian semakin ramai ditambah dari peserta lain, suasananya pun berubah menjadi bukan pendakian, akan tetapi pasar malem, saking banyaknya lampu senter di sepanjang jalur pendakian saat dini hari, terangnya pun mengalahkan terangnya sang bintang-bintang. Pokoknya ngga nyesel pas menyaksikan momen tersebut. Oke guys, langsung ke kisah perjalanan gue dari awal sampai gue bisa ke puncak Gunung Slamet dan mengibarkan bendera Indonesia tercinta, simak berikut ini:

Perjalanan dari Jogja ke Bambangan-Purbalingga

Buat yang awam kaya gue, gue yakin perjalanan dari kota tempat tinggal ke tujuan menjadi tantangan tersendiri. Perjalanan gue pun cukup menyedihkan dan menyenangkan, ibarat paketan ya paket komplit dah. Oke, perjalanan gue kali ini ngga sendiri, tentunya dibersamai oleh temen-temen gue yang baru, baru kenal setelah mendaftar sebagai peserta pendakian massal Gunung Slamet. Kenapa bisa kenal? Sebelum mendaftar, gue pastinya tanya-tanya ke panitianya, terkait dari teknis, layanannya, biaya, dan tentunya tanya peserta dari daerah asal yang sama. Nah, dari situlah, gue dapat kontak peserta yang berasal dari Jogja dan langsung gue kontak satu per satu, ngobrol basa-basi lewat sosial media, sampai janjian ke berangkat bareng di meeting point stasiun Jombor.
Perjalanan pun dimulai, perjalanan menuju basecamp Bambangan Purbalingga kami dimulai dari Terminal Jombor. Dari Terminal Jombor, tepatnya jam 15.30 waktu setempat, kami naik bis ekonomi arah ke Terminal Magelang, waktu tempuh yang dihabiskan sekitar 90 menit dengan biayan Rp. 12.000,00 per orang, kemudian nunggu sampai ada bis ekonomi yang mengarah ke Pertigaan Secang dan biayanya Rp. 5.000,00 per orang dengan waktu tempuh bis sekitar 30 menit. Sampainya di Pertigaan Secang, jam sudah menunjukkan arah jarum ke 5 sore, kami pun agak sedikit kewalahan di Pertigaan Secang, mulai dari nunggu bis arah ke Purbalingga sekitar 30 menit, namun penantian yang lama kian tak mereda, akhirnya kami terhasut oleh beberapa oknum kernet yang menyarankan kami untuk naik bisnya ke arah Wonosobo dan tuturnya langsung bisa lanjut naik bis arah Purbalingga sesampainya di Wonosobo. Namun, setelah kami naik bis tersebut selama 15 menit dengan biaya Rp. 5.000,00 per orang, kami memutuskan turun di Persimpangan Kranggan dengan dalil salah satu teman kami akan bertemu di Persimpangan Kranggan. Dalil kami memang asli apa adanya, salah satu dari temennya temen gue berangkat dari Semarang dan memang dari awal sudah janjian ketemu di Pertigaan Secang, tapi karena terhasut dengan omongan sang oknum kernet, seperti inilah jadinya, kami terdampar di Persimpangan Kranggan. Selama kurang lebih 1 jam menunggu di Persimpangan Kranggan, akhirnya bis yang ditumpangi oleh teman kami yang berangkat dari Semarang sampai juga, kami pun bergegas naik bis tersebut yang mengarah ke Terminal Purbalingga. Sekitar 3 jam perjalanan kami lewatkan di dalam bis tersebut dengan merogoh kocek sebesar Rp. 40.000,00 per orang, kami pun sampai di Terminal Purbalingga.

Photo credit by Adi Suseno.
Perjalanan belum berakhir, sesampainya di Terminal Purbalingga, kami langsung dijemput oleh salah satu teman dari kami yang nantinya menjadi host kami selama di Purbalingga, syukurlah setidaknya bisa berhemat terkait penginapan dan konsumsi selama di Purbalingga. Tanpa ada niat memanfaatkan, keluarganya memang super baik, mulai dari penginapan, konsumsi, dan transportasi pun sudah disediakan untuk menuju ke basecamp Bambangan yang jaraknya sekitar 90 menit. Rumah tersebutlah yang akan menjadi tempat tinggal kami sebelum dan sesudah pendakian massal berlangsung.

Rumah host kami, sederhana dan bahagia.

Beraksi mendaki!

Basecamp Bambangan
Setelah melakukan perjalanan sekitar 90 menit dari rumah host kami di Purbalingga, akhirnya kami sampai di basecamp Bambangan, Purbalingga. Basecamp Bambangan merupakan salah satu tempat transit bagi para pendaki sebelum melakukan pendakian. Inilah tempat dimana kita bisa mempersiapkan perlengkapan mendaki, termasuk hal-hal yang sepele seperti buang air besar (BAB) sebelum bertahan hidup di alam selama 2 hari 1 malam.




Pos 1 Pondok Gembirung
(2.037 mdpl)
Pendakian dari basecamp Bambangan menuju Pos 1 Pondok Gembirung (2.037 mdpl) membutuhkan waktu sekitar 90 menit dengan medan tanah dan banyak pertanian warga di sekitar lereng. Di sepanjang perjalanan juga belum terlalu berat karena masih sedikit tanjakan yang curam dan ditambah di beberapa spot tersedia warung-warung yang menjual berbagai makanan dan minuman. Warung-warung tersebut tersedia di hampir setiap Pos 1 sampai Pos 7. Lanjut dari Pos 1 menuju ke Pos 2 Pondok Walang (2.256 mdpl) memakan waktu sekitar 30 menit dengan medan yang hampir sama dengan sebelumnya dan tentunya ada warung dimana kita bisa menikmati secangkir kopi panas dan gorengan yang hangat. Terkait dengan harga, harganya pasti di atas harga normal karena butuh biaya angkut dari basecamp menuju pos-pos yang dituju, semakin tinggi posnya maka semakin tinggi pula harganya. Untuk beberapa kasus, saya menyempatkan mampir di Pos 1 dan Pos 2 untuk membeli makanan yang dibanderol dengan harga yang sama yaitu gorengan Rp. 2.000,00 per gorengan dan harga buah pisang Rp. 3.000,00 per buah.

Pos 2 Pondok Walang
(2.256 mdpl)
Pos 3 Pondok Cemara
(2.510 mdpl)

Pos 4 Pondok Samarantu (2.688 mdpl)
Perjalanan selanjutnya, Pos 2 menuju Pos 3 Pondok Cemara (2.510 mdpl) dengan jarak tempuh skeitar 60 menit dengan medan yang sama dengan sebelumnya dan tentunya jalan yang dihadapi mulai menanjak ke atas dan cukup berat. Kemudian dilanjutkan dari Pos 3 menuju Pos 4 Pos Pondok Samarantu (2.688 mdpl) dengan waktu perjalanan sekitar 45 menit, pos yang terkenal angker ini terlihat biasa saja dan sangat asri dengan banyaknya pohon-pohon yang besar dan rindang. Tanpa ada pikiran negative, perjalanan langsung berlanjut ke pos berikutnya, yaitu Pos 5 Samyang Rangkah (2.972 mdpl) dengan jarak tempuh sekitar 30 menit dari pos 4 dan medannya cukup berat. Di Pos 5 ini, kami mendirikan tenda kelompok di lapangan yang cukup luas, tapi tetap waspada saat pendakian liburan seperi ini, karena banyak pendaki banyak pula tenda yang sudah berdiri.

Pos 5 Samyang Rangkah (2.972 mdpl)
Pos 6 Samyang Ketebonan (2.909 mdpl)
Dari basecamp Bambangan berangkat jam 9 pagi dan sesampainya di Pos 5 jam 5 sore. Kami pun bergegas mendirikan tenda dan masak-masak. Masakan kali ini sangat spesial buat gue, yaitu mie instan, yang sering harus gue hindari malah menjadi makanan bersama di tenda yang cukup untuk 5 pendaki. Dengan lahapnya dan penuh prasangka baik, gue pun menikmatinya tanpa menghiraukan kesehatan setelah turun dari gunung, haha. Setelah rehat dan makan malam, kami langsung bergegas istirahat malam agar dini hari bisa langsung meneruskan perjalanan ke puncak Gunung Slamet.

Pos 7 Samyang Kendit
(2.040 mdpl)
Pos 8 Samyang Jampang
(3.092 mdpl)

Pos 9 Plawangan
Jam 02.30 dini hari, tepatnya tanggal 17 Agustus 2016, kami langsung mempersiapkan perlengkapan menuju puncak dan jam 03.00 dini hari kami memulai perjalanan dari Pos 5 menuju Pos 6 Samyang Ketebonan (2.909 mdpl), Pos 7 Samyang Kendit (3.040 mdpl), Pos 8 Samyang Jampang (3.092 mdpl), dan Pos 9 Plawangan, dengan jarak tempuh sekitar 2 jam. Perlu diperhatikan bahwa di sepanjang jalur pendakian Pos 8 ke Pos 9 dan Pos 9 ke Puncak merupakan daerah non vegetasi, tidak ada tumbuhan lebat, hanya tumbuhan edelweiss dan sejenisnya, serta medannya berbatu. Sampai di puncak sekitar jam 5 pagi, dan langsung mencari spot yang bagus buat menyaksikan sunrise dari ketinggian 3.428 mdpl. Perlu diperhatikan bahwa suhu di puncak Slamet sangat dingin pada jam tersebut, gue yang pake jaket gunung tebel, celana jeans, dan sepatu gunung serta tas gendong saja masih merasakan kedinginan, apalagi yang perlengakapannya kurang dari itu, bisa-bisa kena hipotermia.
Sunrise di Puncak Gunung Slamet (3.428 mdpl)
Matahari terbit di puncak gunung Slamet memang tiada duanya selain menempati posisi puncak tertinggi di Jawa Tengah, kita bisa melihat puncak-puncak gunung yang berada di sekelilingnya seperti Puncak Gunung Sindoro-Sumbing, Merapi, Merbabu, dan sebagainya. Bersyukur atas ciptaan Tuhan YME akan menambah nikmat kita dalam menyaksikan munculnya matahari dari ufuk timur. Kemudian, kami langsung bergabung dengan para pendaki lain dan mengikuti upacara bendera merah putih dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sungguh, rasanya terharu bisa menyanyikan lagu kebangsaan di atas puncak sembari mengenang perjuangan pahlawan Indonesia dalam mengibarkan bendera kemerdekaan. Hanya doa dari kami yang bisa mengantarkan kebahagiaan para pahlawan Indonesia di rumah Tuhan YME. Semoga apa yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia dapat segera terlaksana dengan lebih baik dan semoga generasi bangsa Indonesia mempunyai rasa nasionalisme yang lebih besar ke depannya.

Kiri ke kanan (atas): Mas Ridwan, Mas Yanto, Adi, Yeyen, Fandi
kiri ke kanan (bawah): Mba Surna, Eka, Ari





Thursday, August 25, 2016

Gunung Api Purba - Nglanggeran (700 mdpl)

Saya berada di puncak GAP.
Gunung Api Purba yang terletak di desa Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, merupakan gunung yang terbentuk dari pembekuan magma yang terjadi kurang lebih 60 juta tahun yang lalu. Susunan batuannya berupa andesit, lava, dan breksi andesit (sumber: Wikipedia). Gunung Api purba yang berada di ketinggian 700 mdpl ini memberikan suasana tersendiri bagi para wisatawan yang ingin mencoba naik gunung. Bagi wisata awam, pendakian dari pintu masuk sampai ke puncak membutuhkan waktu sekitar 2 jam dengan jalan santai. Di sepanjang jalur pendakian juga tersedia tempat istirahat yang nyaman dengan fasilitas toilet yang memadai. Jalur pendakiannya juga terawat dengan baik, hal tersebut bisa dilihat di sepanjang jalur hampir di semen dan setiap tanjakan diberi tali untuk pegangan, plangisasi juga sudah diposisikan di sudut-sudut persimpangan jalur pendakian. Tidak hanya itu, bagi wisatawan yang kekurangan bekal makanan dan minuman bisa mampir ke warung-warung yang berada di beberapa titik jalur pendakian.

Pengembangan Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba diawali oleh Kelompok Pemuda Karang Taruna Desa Nglanggeran sejak tahun 1999 dengan berbagai kegiatan aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan di Gunung Api Purba tersebut. Sekarang, pengelolaan kawasan ekowisata tersebut dikelola oleh Badan Pengelola Desa Wisata (BPDW) yang melibatkan masyarakat dari Ibu PKK, Kelompok Tani, Pemerintah Desa dan Karang Taruna. BPDW tersebut juga didampingi oleh Dinas Budaya dan Pariwisata Gunungkidul sejak tahun 2007 (sumber: gunungapipurba.com). Pengembangan tersebut tentunya juga memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar dan meningkatkan ekonomi secara signifikan. Dengan biaya tiket masuk wisatawan lokal sebesar Rp. 15.000,00 per orang, tentunya biaya tersebut sudah mengkover biaya pemeliharaan fasilitas di sepanjang jalur pendakian.

Indahnya matahari tenggelam di arah barat. 
Sedikit cerita terkait pendakian saya di Gunung Api Purba. Pendakian kali ini merupakan kali ketiga saya menginjakkan kaki di Gunung Api Purba. Tepatnya pada tanggal 20 Agustus 2016, 2 hari setelah melakukan pendakian Gunung Slamet (3.428 mdpl), saya dan teman saya yang berasal dari Narmada, Lombok Barat, NTB mengisi waktu luang di hari Sabtu untuk mencari suasana yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Perjalanan kami dimulai dari UNY sekitar jam 13.00 WIB dan sesampainya di pos tiket masuk sekitar jam 14.30 WIB. Kami pun langsung bergegas melakukan pendakian dengan perbekalan air minum 1 liter dan roti 2 bungkus. Hampir di setiap jalur pendakian, teman saya yang sangat antusias selalu mengabadikan momen-momennya di setiap sudut, sedangkan saya hanya membayangkan betapa bersyukurnya atas nikmat Tuhan YME atas pendakian Gunung Slamet yang baru terjadi 2 hari sebelumnya. Perbedaannya sungguh jauh, ketika saya mendaki di Gunung Slamet tentunya perbekalan yang dibawa super lengkap dan logistik harus cukup untuk 2 hari 1 malam, sementara di Gunung Api Purba hanya cukup membawa air minum 1 liter dan 2 buah roti bungkus. Namun, keduannya tersebut memberikan kesan tersendiri bagi saya yang suka ketenangan dan hal-hal yang berbau alam seperti pendakian ini.


Tempat yang luas dan ramai oleh wisatawan.
Setelah melakukan dokumentasi di setiap spot, kami pun berhenti di tempat luas yang ramai untuk mengabadikan momen-momen selama di Gunung Api Purba. Di tempat tersebut, jam tangan sudah menunjukkan angka 15.30 WIB, kami pun memutuskan untuk beristirahat dan menunggu sore untuk melanjutkan ke puncak. Sekitar pukul 17.00 WIB, kami melanjutkan pendakian menuju puncak melalui jalur pendakian yang sempit dan berbatu, dan sesampainya di Puncak Gunung Api Purba tersebut sekitar jam 17.30 WIB. Lumayan banyak wisatawan yang menuju puncak untuk menyaksikan indahnya sunset dari ketinggian 700 mdpl. Di atas ketinggian 700 mdpl tersebut pula, sang merah putih berdiri kokoh di tiang dan berkibar dengan gagah berani.

Wednesday, August 24, 2016

Fase Perkembangan Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)


Perhatian masyarakat umum terhadap dunia pendidikan luar biasa yang ditujukan bagi anak berkebutuhan khusus relatif masih baru. Menurut Mohammad Amin dan Andress Dwidjosumarto (1979) dalam Muljono Abdurrachman dan Sudjadi (1994:248), perhatian dalam pendidikan tersebut terbagi menjadi tiga fase perkembangan pendidikan ABK, yaitu fase pengabaian, fase pemberian perlindungan, dan fase pemberian pendidikan. Adapun penjabaran dari ketiga fase tersebut yaitu sebagai berikut:
1.       Fase Pengabaian
Pada zaman Sparta, anak yang mengalami kelainan dibunuh dan dieksploitasi untuk pertunjukan. Sisa-sisa eksploitasi tersebut masih berlangsung hingga saat ini, terutama pada anak yang mengalami bentuk fisik lebih kecil dari anak seusianya (kretin atau kerdil).
2.       Fase Pemberian Perlindungan
Di Cina, perlindungan bagi anak yang menyandang ketunaan telah dilakukan sejak zaman Confusius yang menganjurkan anak yang mengalami ketunaan tetap disebut sebagai anak dan tidak dibedakan dari anak seusianya.
3.       Fase Pemberian Pendidikan
Pada tahun 1500-an, pendidikan untuk ABK baru dimulai di beberapa negara. Pada decade pertama abad 19, para pemimpin Amerika Serikat seperti Horace Mann, Samuel Gridley Howe, dan Dorothea Dix menggerakkan sekolah berasrama bagi anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, epilesi, dan yatim piatu. Sekolah tersebut memberikan berbagai pelatihan dan juga memberikan perlindungan lingkungan sepanjang hidup. Pada awal tahun 1871, Samuel Gridley Howe meramalkan bahwa masa depan pendidikan ABK dapat terintegrasi dengan anak seusianya di sekolah biasa.

Sumber:
Muljono Abdurrachman dan Sudjadi. (1994). Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Depdikbud.


Saturday, August 20, 2016

Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Pembicara sedang memberikan materi kesehatan reproduksi.
Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan  membentuk peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggunggjawab. Guru merupakan tenaga pendidik yang mempunyai tugas membimbing, membelajarkan, dan melatih peserta didik. Oleh karena itu, guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional.
Sebagai wujud tanggung jawab terhadap kemajuan pendidikan, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY mempunyai visi yaitu mewujudkan pelayanan pendidikan yang optimal untuk mencapai kemandirian anak-anak berkebutuhan khusus dan didukung oleh salah satu misinya adalah meningkatkan relevansi daya saing Pendidikan Khusus (PK) dan Pendidikan Layanan Khusus (PLK). Anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan secara khusus dalam segi fisik, mental, maupun sosial, sehingga diperlukan layanan pendidikan khusus sesuai dengan kelainannya.
Oleh karena itu, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY melaksanakan pendidikan kesehatan reproduksi bagi guru-guru yang menangani anak berkebutuhan khusus sebagai wahana pengembangan, peningkatan, dan pelayanan yang prima dalam pembelajaran khususnya kesehatan reproduksi kepada peserta didik yang berkebutuhan khusus.
Pendidikan kesehatan reproduksi tersebut dilaksanakan di University Hotel (Hotel UIN) Yogyakarta yang beralamat di jalan Anggrek 137 D (Jalan Adisutjipto Km 10), Sambilegi, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta, mulai tanggal 08 s.d. 13 Agustus 2016. Peserta dari pendidikan kesehatan resproduksi yaitu 76 orang guru yang menangani kesehatan reproduksi di SLB se-DIY. Adapun narasumbernya yaitu terdiri dari penceramah umum dari Dinas Dikpora, narasumber ahli dari PKBI DIY dan Lembaga Rifka Annisa, narasumber atau instruktur dari Dinas Dikpora DIY, Dinas Kesehatan, UNY, Polda DIY, SLB Karnnamanohara, dan SLB Negeri 1 Bantul.
Pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi bagi ABK di SLB
Seseorang berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dan tidak diterima di masyarakat oleh masyarakat sekitar akan mengalami rasa rendah diri. Pada saat kondisi tersebut, apabila seseorang masuk ke dalam kehidupannya dan menerima apa adanya, maka seseorang berkebutuhan khusus tersebut akan merasa terbuka dan merasa dirinya dihargai. Namun, untuk beberapa kasus pelecehan seksual, orang-orang yang tidak bertanggungjawab akan memanfaatkan kondisi tersebut dengan memberikan rayuan atau bujukan bahkan mengancamnya agar seseorang berkebutuhan khusus mau melakukan apa yang diinginkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Dewasa ini, kasus tersebut merupakan pelecehan seksual, yaitu adanya unsur paksaan, bujukan, dan/atau rayuan dalam aktivitas seksual. Selain itu, pelecehan seksual terjadi karena kurangnya pemahaman pendidikan seksual yang meliputi cara merawat alat reproduksi, cara mengontrolnya, penyakit yang dapat menular, dan batasan-batasan dalam alat reproduksi. Oleh karena itu, seseorang berkebutuhan khusus lebih rentan dengan pelecehan seksual.
Strategi pembelajaran kesehatan reproduksi bagi ABK
            Pembelajaran reproduksi bagi ABK di sekolah khusus tidak mudah diajarkan. Hal tersebut perlu penyesuaian dalam proses KBM-nya, seperti penggunaan media yang konkret dan bahkan dengan metode demonstrasi atau praktek.  Dalam pembelajaran reproduksi juga diharuskan menggunakan istilah ilmiah atau sebenarnya, seperti penis dan vagina. Pembelajaran harus dilakukan di ruang tertutup dan adanya aturan yang mengikat dalam pembelajaran kespro tersebut, seperti bersikap terbuka, menghargai, rahasia, dan bertanggungjawab.
Permasalahan atau kasus di SLB yaitu banyaknya ABK yang tidak dapat mengontrol batasan-batasan aktivitas seksual, seperti berciuman, bergandengan tangan, berpelukan, dan berhubungan badan. Dalam ruang kelas juga bisa terjadi, seperti ABK memeluk satu guru dengan erat dan selalu bertanya tentang keberadaan gurunya. Dalam kasus ini, guru perlu meregulasi permasalahan tersebut dengan cara memberikan pendidikan kespro atau memberikan kegiatan peralihan bagi ABK. Guru juga harus peka terhadap aktivitas yang dilakukan oleh siswa, bebrapa gejala permasalahan seksual biasanya muncul saat siswa berusia remaja dan gejala-gejala yang muncul dapat diamati melalui perubahan fisik, emosi, tingkah laku, dan perhatian siswa.
Gender
            Gender merupakan status pada jenis kelamin tertentu berdasarkan nilai budaya dan sosial. Contoh gender yaitu dalam pekerjaan yang menganggap bahwa perempuan lebih lemah daripada laki-laki, sehingga terbatasnya lapangan pekerjaan yang mengkotak-kotakan untuk laki-laki dan perempuan, seperti pekerja bangunan cenderung hanya untuk kaum laki-laki dan pekerjaan rumah tangga untuk kaum perempuam. Pandangan terhadap gender ini juga menjadi faktor penting dalam kasus pelecehan seksual yang sering terjadi pada perempuan. Hal tersebut menjadi salah satu faktor mengapa perempuan lebih banyak menjadi korban pelecehan seksual daripada laki-laki.


Monday, August 15, 2016

Pelatihan dari Perancis

Mahasiswa PLB sedang mengikuti kuliah umum dari Perancis.
Pelatihan dari Perancis merupakan program kerjasama antara jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) FIP UNY dengan Hati (Handicap Indonesie). Pelatihan tersebut belangsung sejak tahun 2008 dan dilaksanakan setiap 2 tahun sekali. Pada tahun 2016, pelatihan dari Perancis tersebut mengusung tema Augmentative and Alternative Communication (AAC). AAC yaitu alat bantu komunikasi yang didesain sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus sehingga anak tersebut dapat termudahkan dalam mengungkapkan ekspresinya. Jadwal kegiatannya dimulai dari tanggal 01 Agustus sampai 12 Agustus 2016 dan bertempat di Ruang Sidang I FIP UNY dan Laboratorium PLB. Di Ruang Sidang I FIP, peserta mendapatkan materi AAC dan materi terkait lainnya seperti psikomotor dan orthophoni, sedangkan di Laboratorium PLB, peserta melakukan praktek dengan pendampingan pelatih dari Perancis. Pelatih dari Perancis terdiri dari tiga orang, masing-masing dari mereka berprofesi sebagai terapis psikomotor dan othophoni di negaranya.
Peserta dalam pelatihan terdiri dari mahasiswa PLB dari berbagai angkatan. Jumlah pesertanya sekitar 43 mahasiswa. Dalam pelatihan ini, mahasiswa PLB mendapatkan berbagai ilmu dan pengalaman yang tentunya tidak bisa didapatkan di bangku kuliah. Selama pelatihan, mahasiswa PLB juga mempraktekan setiap materi yang diperoleh, seperti pada materi psikomotor, mahasiswa PLB mempraktekan gerakan-gerakan tertentu untuk merasakan otot-otot yang ada di dalam dirinya. Hal tersebut menjadi tantangan bagi para mahasiswa untuk mengembangkan alat bantu komunikasi sesuai peserta didik berkebutuhan khusus. 
“Ini kali pertama saya mengikuti pelatihan dari Perancis. Dalam pelatihan ini, saya mendapatkan banyak pengalaman yang bisa saya terapkan pada peserta didik saya nantinya. Hal tersebut juga menegaskan bahwa komunikasi bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus tidak hanya melalui verbal saja, tetapi juga perlu mengembangkan perangkat komunikasi yang bisa membantunya dalam berkomunikasi secara efisien dan efektif, sehingga apa yang dimaksud oleh peserta didik juga dapat dimaksud oleh yang lainnya”, ujar Sayidatul Maslahah, mahasiswa PLB angkatan 2014.




Monday, August 1, 2016

Perkembangan Pendidikan Inklusif

Dokumentasi Pribadi Adi Suseno; Pelaksanaan Lomba Hari Kemerdekaan
Indonesia tahun 2015 di SLB A Yaketunis.

Pendidikan Inklusif yang dikenal sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan sekolah secara bersama-sama. Pada mulanya, pendidikan inklusif diprakarsai oleh negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia. Pada tahun 1960-an, Presiden Amerika Serikat, Presiden Kennedy, mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Skandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least Restrictive Environment (LRE), yang ternyata cocok diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris mulai diperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif yang ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dari segregasi (sekolah khusus) ke integrasi (Sekolah Inklusif).

Penyelenggaran pendidikan inklusif semakin mendapat perhatian di dunia. Hal tersebut didukung oleh konvensi dunia tentang hak-hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi “Education for all”. Implikasi tersebut mengikat semua anggota konferensi agar semua anak (apapun latarbelakangnya) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai. Tindak lanjut deklarasi Bangkok tersebut yaitu diselenggarakannya konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol pada tahun 1994 yang mencetuskan perlunya penyelenggaraan inklusif yang dikenal dengan “The Salamanca Statement on Inclusive Education”.

Berdasarkan perkembangan pendidikan inklusif tersebut. Pemerintah Republik Indonesia mengembangkan program-program pendidikan inklusif pada tahun 2000. Program tersebut merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang pernah diselenggarakan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kurang maksimal dalam pelaksanaannya. Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, pada tahun 2004 Indonesia menyelenggarakan konvensi nasional yang menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen “Indonesia menuju Pendidikan Inklusif”.

Sumber:

Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar. (2013). Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (Sesuai Permendiknas No 7 Tahun 2009). Jakarta: Kemendikbud.