Pagi Readers,
Hari
ini gue mau cerita tentang kisah hidup dari tetangga gue nih, gue niatnya
semoga ada nilai-nilai positif yang bisa diambil dengan tanpa maksud dan tujuan
untuk mengintimidasi mereka ataupun mencemarkan nama baik mereka. Gue pengin share apa adanya dari sudut pandang gue
sebagai tetangga dekat. Ngga cuma tetangga sih, mereka juga sanak famili yang
agak jauh dari silsilah keluarga gue.
Tahun
2007, tepatnya pas gue masih duduk di bangku SMP. Tetangga gue terdiri dari
empat anggota keluarga, yaitu bapak, ibu, dan dua anak perempuannya yang masih
berusia balita, anak pertama berusia sekitar 5 tahun dan anak kedua berusia
sekitar 3 tahun. Profesi bapak yaitu menjual buku-buku doa (doa sehari-hari,
dll) dan buku ngaji (Al Quran, Juz Amma, dll), hampir setiap hari beliau
mengayuh sepeda ontelnya dengan membawa kotak kayu yang berisikan barang
dagangannya. Kotak kayu yang dikaitkan di tempat boncengan bagian belakang
sepedanya, menjadi saksi hidup bagi kemuliaan beliau dalam mencari nafkah bagi
keluarganya. Sedangkan profesi ibu yaitu menjual jamu tradisional dengan
keranjang kayu yang diikat kencang di bagian belakang sepeda ontelnya, beliau
bekerja keras siang dan malam untuk persiapan dagangan selanjutnya. Namun
aktivitas ibu semakin berkurang dan bahkan tidak berjualan jamu tradisional
lagi. Hal tersebut beralih ke profesi sebagai ibu rumah tangga, yang perlu
menyiapkan segala sesuatu kebutuhan suami dan anak-anaknya.
Dari
segi geografis, rumah mereka berada tidak jauh dari rumah orang tua gue,
tepatnya hanya selisih 2 meter dari tembok ke tembok. Posisi rumah menghadap ke
utara dan persis di pinggir jalan, ngga jauh beda sama rumah orang tua gue lah.
Dengan rumah ukuran panjang kali lebar, yaitu sekitar 7 meter x 10 meter dengan
jumlah satu ruang tamu, satu ruang tidur, satu ruang keluarga, satu ruang
dapur, satu ruang MCK dan teras rumah, terlihat begitu sederhana dan adem (Jawa: menenangkan). Alas rumah pun
masih alas semen dan beberapa ruangan masih alas tanah, terlihat begitu
mencolok dari rumah-rumah yang berada di sekitarnya, termasuk rumah di seberang
jalan, yang sudah menggunakan keramik sebagai alas rumah, tidak hanya alas
rumah saja, beberapa dinding juga sudah berkeramik.
Dari
segi ekonomi, gue share dari
kehidupan realita yang gue tau aja, mereka jarang belanja untuk membeli
sayur-mayur, hampir setiap hari mereka masak nasi dan sayur bening serta
berlauk tempe sebagai asupan gizi mereka. Tau dari mana? Gue tau dari ngintip
jendela kamar depan yang menghadap ke pintu samping rumah mereka (pintu bagian
dapur mereka), selain itu, hampir setiap hari gue juga liat di depan pintunya
sisa-sisa sayur bening yang sudah basi dan sampah-sampah daun pisang bungkus
tempe. Jangankan untuk rekreasi atau liburan, jajan pun buat anak-anak, gue
yakin sangat dan sangat jarang, gue rasa gue ngga pernah liat bapak atau ibu
ngajak anaknya ke warung seberang jalan rumah orang tua gue. Gue ngga tau
alasan pastinya, entah itu keterbatasan ekonomi, prinsip hemat pangkal kaya,
ataupun yang lainnya.
Dari
segi sosial, untuk bapak yang asli dari desanya, cukup bisa bersosialisasi
dengan baik, mempunyai sifat kalem begitu juga di dalam keluarganya, mengikuti
berbagai undangan untuk hajatan, yasinan rutin, dan kegiatan gotong royong
lainnya, sedangkan ibu yang bukan berasal dari desa tersebut, cukup jarang gue
liat sosialisasinya dengan orang-orang sekitar, setau gue beliau juga ngga ikut
arisan ibu-ibu dan yasinan rutin. Entah sibuk mengurus keluarga atau perihal
lainnya, yang jelas gue ngga bisa mendeskripsikannya secara detail tanpa
konfirmasi dari pihak yang bersangkutan.
Dari
segi pola asuh keluarga terhadap anak, gue bingung mau cerita dari mana, sulit
dijelaskan lewat kata-kata. Langsung to
the point ya. Pada saat mereka mempunyai anak yang pertama, gue masih bisa
hidup tenang di rumah orang tua gue. Namun seiring berjalannya waktu, mereka
dititipi anak yang kedua oleh Tuhan. Nah, semenjak anaknya bertambah usia yang
berarti juga bertambah kebutuhan mereka dalam kehidupannya, gue mulai sering
mendengar ibunya sering ngomel-ngomel, kadang sampai main fisik ke anaknya, dan
jeritan tangis anak pun dapat gue dengarkan. Hampir setiap hari pasti ada
hal-hal seperti itu. Padahal pada saat itu usia anak pertama sekitar 5 tahun
dan anak kedua sekitar 3 tahun. Kejadian tersebut terjadi di dalam rumah
tentunya, jadi ngga semua orang pasti tau. Yang tau persis ya tentunya
orang-orang yang rumahnya berdekatan, dalam hal lain yaitu rumah orang tua gue.
Bapak gue ngga selalu di rumah dan ibu gue jelas ngga mau ikut campur urusan
tetangga. Semenjak itulah, gue ngerasa hidup gue ngga tenang karena banyak yang
tutup mata atau lepas tangan, gue cuma bisa mendengarkan tangisan anak tanpa
dosa hampir setiap hari. Gue sebagai anak ABG peralihan SMP ke SMK juga ngga
bisa melakukan tindakan solutif, sempat terbesit gue ngrekam kejadian tersebut
dan gue laporkan ke polisi atau mengadukan ke perlindungan anak. Tapi gue
merasa, sekali lagi, tindakan gue pasti salah karena langsung membawa ke ranah
hukum. Pasti ada banyak hal yang perlu dikonfirmasi terkait kejadian tetangga
gue dan tentunya juga masih bisa diselesaikan dengan solusi yang lebih humanis.
Seandainya posisi gue adalah orang dewasa atau kepala keluarga di rumah, yang
jelas bukan ABK, pasti gue langsung minta konfirmasi ke tetangga gue saat
kejadian berlangsung yang tujuannya adalah tidak melibatkan anak dalam
permasalahan keluarga. Bagaimana anak bisa belajar menjadi orang baik jika
lingkungan keluarganya saja sudah seperti itu?
Beberapa
tahun setelah kejadian tersebut berlangsung, bapak dari anak-anak tetangga gue
meninggal dunia dan kehidupan di keluarga tersebut menjadi 3 srikandi saja
yaitu ibu dan dua anak perempuannya. Namun, tangisan anak masih sering
terdengar di rumah tersebut. Selang 1-2 tahun kemudian, akhirnya ibu dari anak
tersebut memutuskan berpindah ke daerah tempat asal ibu. Sementara rumah
tersebut dikontrakan ke seseorang. Semenjak berpindah, gue masih bertanya-tanya
bagaimana kisah hidup anak-anak yang tak berdosa tersebut? Apakah mereka sudah
mendapatkan perlakuan yang lebih humanis? Bagaimana gue bisa mengikuti
perkembangan mereka?. Ah, apakah gue terlalu ikut campur terlalu jauh dalam
memikirkan mereka?
Lama tak
kunjung tiba, akhirnya datang juga. Pada saat lebaran kemarin, banyak yang
datang ke rumah ortu gue buat sekedar silaturahmi, gue cuma bisa cari muka di
depan, siapa tau dapet angpao atau malah dapet jodoh. Hahaha…. Yang penting
jangan dapet hak miliknya orang lain J. Dari banyaknya
yang datang, I paid an attention to someone
who I guessed it’s so familiar in my mind, oh my God, what was I seeing was the
first daughter of my neighbour that has settled in somewhere else? Oh, it’s
been a long time and she’s not looked like a child anymore. Yeah, she’s a student
of junior high school then. It meant that she’s already treated well by her
relatives. Yes, she came to my parents’ house with her aunt, and her relatives
lost contact with her mother. I heard through the grapevine that her mother
went to somewhere else in order to get a job. I hoped her mother would be fine
and back to her daughters. Anyway, it’s so touching for me because she grew
well and could go to school. She would be a good iron lady for someone. On that
day, I started to write this text and I knew that’s why I want to get my higher
education. It’s all not about the prestige, not for a reputation of high
quality, or ever just for my self-interest. I will dedicate my life for those
people who need such as children with special needs, orphans, children with broken
home, problem children, ragamuffin, waifs, etc. Because they’re the good future
of Indonesia who will bring Indonesia to be more humanist country in the world.
I won’t let the life knocks down them. Adi, be a blessing to someone today!
“Stay foolish, stay hungry” –
Steve Jobs
“In order for the light to
shine so brightly, the darkness must be present” – Francis Bacon
“I can’t change the direction
of the wind but I can adjust my sails to always reach my destination” – Jimmy Dean
0 comments:
Post a Comment